Rumahku Bukan Gudangku
Tuesday, 4 August 2020
Angel Lisandi,
Fauzan Daulay,
Motivasi,
Motivasi Dari Syakir Daulay,
nulisyuk,
Syakir Daulay,
Zikri Daulay
S.A.L.E - SPECIAL OFFER – FLASH SALE - FASHION FESTIVAL – EXTRA % OFF
syakirdaulay.com - Ini untuk kesekian kalinya si jari – jemari dengan lincahnya menekan tombol ‘order now’ di layar handphone. Perasaan orderan yang kemarin belum juga datang, eh orderan sebelumnya sudah ada yang datang sih tapi belum sempat dibuka, sebentar.. sepertinya ada juga paket orderan sebelumnya lagi sudah datang, sudah dibuka, cuma belum sempat dipakai aja….Waduh.…
Pernah mengalami situasi seperti itu? Sesekali, agak sering, sering, atau sering banget? Senasib deh kita kalau begitu.. dan ujung – ujungnya pastilah mendadak ataupun perlahan tapi pasti lemari pakaian, tempat tas, rak sepatu akan dipenuhi aneka barang yang belum tentu semuanya dapat giliran kita pakai atau kalaupun dipakai tidak sesering yang kita bayangkan sebelum membelinya.
Shopping at our finger trip memang banyak jebakan setannya. Mendorong kita untuk terus memuaskan keinginan dengan alasan apapun. Padahal, setiap apa yang kita miliki harus bisa kita pertanggungjawabkan kelak.
Kalau semua sudah terlanjur tejadi, bagaimana dong? Untuk pemecahan masalah ala ‘fire fighter’ maka konsekuensinya adalah aku harus segera mengurangi barang yang ada di rumah. Lihat saja lemari pakaian dua, tiga pintu. Bisa jadi barang yang sering dipakai dan benar-benar kita butuhkan hanya 50% nya saja atau jangan-jangan malah 30% nya..? Oh No..! Rumahku bukan gudangku.
Karena aku bekerja dan kebetulan juga masih menjalani kuliah, libur weekend aku hanyalah tersisa di hari Ahad. Makanya sesuatu banget ketika Sabtu pas tanggal merah atau hari libur yang tidak kejepit dimana biasanya kami sekeluarga tidak pergi keluar kota, karena aku bisa nyicil melakukan aktivitas memilah barang-barang yang tidak terpakai seperti pakaian, sepatu dan tas. Sebab rumahku bukan gudangku.
Pemilahan itu bagi aku adalah gampang-gampang susah walaupun sering banyak susahnya. Rasanya seperti menguji kemampuan kita untuk mengambil keputusan penting dalam waktu terbatas.
Ada 3 kategori utama untuk pemilahan barang: Buang – Simpan – Berikan. Nah untuk masing-masing ketegori aku punya beberapa kriteria pertimbangan untuk memudahkan aku mengambil keputusan:
1. Buang
Untuk pakaian rusak, atau yang bernoda yang tidak bisa dihilangkan dan sangat mengganggu penampilan, pakaian yang memperbaikinya akan memakan waktu yang lama atau biayanya cukup mahal dan tidak ada kegunaan lain yang bisa aku manfaatkan, maka aku akan membungkusnya dengan plastik supaya tahan air, memberinya label dan membuangnya untuk diangkut tukang sampah. Siapa tahu masih ada yang bisa memanfaatkan.
2. Simpan
Sub kategorinya adalah: simpan di lemari dan simpan di suatu tempat penampungan sementara. Biasanya alokasi ke penampungan sementara, aku lakukan sambil menunggu moment seperti bazar amal, bakti sosial atau diberikan ke saudara menjelang hari raya. Alasan lain adalah karena aku masih galau, seperti ada pakaian yang jarang sekali dipakai, bukan pakaian kategori untuk hari raya atau undangan pernikahan, namun aku masih akung untuk melepaskannya. Tempat penyimpanan yang aku gunakan adalah box plastik yang transparan dan diberi label isi dan peruntukan, sehingga memudahkan pencarian ketika dibutuhkan.
3. Berikan
Aku menggunakan Tier (atau pelevelan) untuk saluran pemberian tergantung dari kualitas barang dan nilai barang itu di mata aku:
Tier 1 - Untuk barang yang kualitas prima atau bermerk tapi sudah tidak cukup atau suatu alasan tidak pernah/ sangat jarang dipakai lagi, atau barang baru yang terlanjur diterima atau dibeli namun jumlahnya lebih dari cukup, akan diberikan ke saudara. Untuk barang baru aku akan menwarkan ke ibu dan ibu mertua terlebih dahulu.
Tier 2 - Untuk barang kualitas sedang alias kategori layak pakai, disalurkan ke bazar amal, bakti sosial, mbak yang bekerja di rumah dan para mbak tetangga.
Tier 3 - Barang dengan kualitas sedikit dibawah layak pakai. Seperti pakaian sedikit robek yang masih bisa diperbaiki dengan mudah, pakaian dengan sedikit noda biasanya di bagian kerah. Pakaian tersebut dibungkus dibungkus plastik rapi, ditempeli label pakaian bekas dan diberikan ke pemulung atau tukang sampah dikombinasikan dengan baju layak pakai.
Penyaluran tas kurang lebih sama dengan pakaian, hanya saja karena tidak terlalu banyak jumlah dan kebutuhannya dibandingkan pakaian, aku mengutamakan tas yang masih bagus dan jarang dipakai untuk bazar amal terbatas seperti di kelompok pengajian. Pertimbangannya adalah harganya masih bisa dipatok lebih tinggi, jadi lumayan untuk menambah kas dana sosial.
Untuk sepatu, karena lebih banyak sepatu anak yang tidak terpakai, penyaluran ke saudara dan bazar amal biasanya diembel-embeli dengan permohonan maaf karena belum sempat dicuci atau dibersihkan. Sedangkan sandal sehari-hari yang terbuat dari karet layak pakai, aku tawarkan ke para mbak, dan sisanya diberkan ke pemulung atau tukang sampah.
Memang rempong dan melelahkan fisik dan mental ketika menjalani proses pemilahan barang seperti itu, apalagi bila siklusnya hanya dilakukan sekali dalam setahun. Namun hasilnya bagi aku cukup setimpal. Rasanya begitu lega dan bahagia ketika melihat lemari pakaian, rak sepatu dan tempat tas punya ruang untuk ‘bernafas’, tidak berdesak-desakan dan saling terjepit satu sama lain. Sebab rumahku bukan gudangku.
Dan manfaat lain, beres-beres adalah terapi efektif bagi aku ketika mengalami kondisi pikiran buntu, merasa terlalu banyak yang harus dilakukan dan tidak tahu harus memulai dari mana; menata barang menjadi langkah awal untuk kembali menata pikiran.
Saat ini aku merasa tidak pernah bisa punya cukup waktu untuk melakukannya sesering yang aku inginkan. Sampai suami aku pernah bilang, coba bunda bisa cuti seminggu khusus untu beres-beres biar rumah kita benar-benar bisa bebas dari tumpukan barang… He..he..
Kadang aku membayangkan seandainya ada alat semacam vacuum cleaner raksasa yang bisa deprogram menyedot barang apa saja yang terdeteksi tidak dibutuhkan di rumah… alangkah indah hidup ini…
Yang jelas, memilah barang dan menyalurkan kepada yang lain supaya nilai manfaatnya terus terjaga, juga mengajarkan aku untuk mengingat filosofi dasar penting bahwa: Kita bukan barang kita, rumahku bukan gudangku, barang yang kita miliki tidak mencerminkan diri kita. Kita ya kita dan barang tetaplah barang, terlepas dari pesan apapun yang dikatakan iklan TV atau iklan situs belanja online yang mendorong kita memaknai sempit diri kita berdasarkan apa yang kita pakai.
Tidak hanya cukup berbekal semangat Fire Fighter, perlu upaya pencegahan tentunya agar siklus penumpukan tidak terulang lagi. Maka belajar merasa cukup itulah yang harus aku pompakan bagi aku sendiri dan keluarga, karena cukup tidak hanya memenuhi kebutuhan tapi ada komponen keinginan yang perlu terus dikendalikan.
Saat ini sudah banyak situs di internet untuk penyaluran dana sosial seperti BMH, Dompet Dhuafa, MER-C, kitabisa dan masih banyak lagi. Aku mencoba memanfaatkan situs-situs tersebut untuk menjadi salah satu barrier ketika godaan untuk membeli sesuatu datang lagi, memikirkan bagaimana sejumlah uang sekedar untuk melepas hasrat belanja bisa begitu berarti untuk mereka yang membutuhkan dan berarti juga untuk bekal kita kelak di kehidupan yang kekal.
“ …Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan “. (Al-A’raaf QS 7:31)
Baca juga : Marilah Kita Perbanyak Bersyukur
Kita Bukanlah Siapa-Siapa, Tapi Semua Akan Berakhir Sama Saja
Tiada Beda Kita di Depan Allah Kecuali Amal Ibadah Kita
Sumber Bacaan :
1. Jay, Francine, “ Seni Hidup Minimalis”, Gramedia, 2018
Oleh: Haneefa Romas
@hanifa.zaidan